Februari 06, 2009

Hima.011 Teori Newton

Di sebuah kelas yang amat jauh dari peradaban manusia karena letaknya emang di pojokan. Beberapa makhluk yang tampaknya sudah bukan makhluk halus lagi sedang melakukan sesuatu yang tidaklah penting, jadi nggak perlu dicritain, khan…


“Ka… me…” Phoo nongol di depan meja Kamenashi tepat waktu Kamenashi mau nyendok gurita goreng. Kamenashi langsung nyangka Phoo jadi-jadiannya tuh gurita.

“Kame… nashi…” Sekali lagi Phoo manggil Kamenashi dengan genitnya. Tanpa menjawab Kamenashi tambah semangat nguyah tuh gurita goreng sambil tetap ngeliatin mukanya Phoo.

“Ngapain sih kamu, Phoo?” tanya Aan dari belakang. Aan datang bareng Oguri. Dunia mau kiamat kali ya… Nggak juga sih, Oguri habis njalanin hukuman dari Prof. Snape n Aan habis ngejemur tongkat sihirnya Prof. Snape di lapangan, jadi mereka ketemu deh.

“Nggak ngapa-ngapain koq, cuma pamer eyeshadow baru.”

“Ke Kamenashi? Kayak yang dia ngerti…”

“Nggak apa, nggak peduli, mumpung nggak ada pengganggu.”

“Mata kamu kenapa Phoo? Koq gelap? Tadi malam nggak bisa tidur?” Setelah gurita gorengnya abis baru Kamenashi sadar kalau di depannya beneran Phoo, bukan gurita jadi-jadian. Dengan komentar Kamenashi, muka Phoo langsung merah gara-gara malu.

“Lho Phoo, kemaren kamu belinya eyeshadow apa blush on sih? Ni blush on baru ya?” tanya Nite yang tiba-tiba nongol dari belakang Kamenashi sambil bawa tumpukan kertas hasil ujian IAD.

“Nit, pa an tuh?” Tanya Aan yang sedikit nggak tega ngeliat Phoo merahnya semakin menjadi-jadi, jadi nyebar ke seluruh badan, jadi kayak biduran.

“Oh, ini ujian IAD yang kemaren. Yang dapat di bawah 70 disuruh ikut ujian susulan. Lisan lho, bo.”

“Ya, ampun. Tuh guru satu nggak sopan banget sih. Nggak tahu apa kita jawab soalnya kan susah payah, dengan usaha kanan kiri.” Akanishi nggak terima.

“Tau tuh guru! Awas aja kalau ketemu.” Nite nambahin.

“Emang mau diapain?” Tanya Lilin.

“Nggak diapa-apain. Kecuali kalau dia lebih muda.”

“Emang kalau lebih muda mau diapain?”

“Kalau dia lebih muda ya nggak mungkin ngajar kita, kan?” Susah ya ngomong sama anak satu ini. Nite mulai membagikan kertas hasil ujian. Phoo, Lilin, Aan, Nite, Kamenashi, ma Oguri sukses besar dapat nilai 69. Itu apa artinya coba. Yup, mereka kudu ikut ujian susulan nanti siang. Mereka memang kompak, salahnya sama, sama-sama dapat nilai 69, sama-sama dihukum.

“Untung aja guru kita orangnya bae. Dia paling ngerti yang terbaik buat kita.” Akanishi yang dapat 70 sudah lupa sama omongannya sebelumnya.

Siangnya. Cuma mereka berenam yang harus ikut ujian susulan. Prof. Hatake, guru IAD, sudah menunggu di bawah pohon rindang, bukan karena nih guru mentang-mentang guru IAD jadi suka alam (kalau adiknya Vetty Vera seh ngefans), tapi karena memang pelajaran IAD nggak dapat ruang jadi kudu di luar, biar bebas, namanya aja Ilmu Alamiah Dasar, kata Albus Dumbledoor, kepala sekolah yang dulu.

“Lapor, anak-anak sudah lengkap. Laporan selesai.” Aan melapor dari barisan paling kiri.

“Ya. Buat kalian yang sangat kompak, ujiannya ujian kelompok, jadi kalian nggak perlu susah-susah nyontek.” Kata pak guru.

“Sekarang kalian berdiri di bawah pohon ini sampai ada buah apel yang jatuh ke tanah. Setelah itu nilai IAD kalian dapat 80.” Dulu Newton dapat ilham gara-gara ada apel yang jatuh, sekarang mereka berenam cari-cari ilham buat ngejatuhin apel ke tanah.

Belum ada satu menit mereka berdiri, mereka sudah bosan.

“Eh, maen tebak-tebakan yuk.” Kata Aan.

“Apaan?” tanya Nite.

“Apel apa yang jadi judul lagu?”

“Tebakan anak-anak. Apelangi pelangi kan?” jawab Lilin.

“Baka!” nggak perlu dikasih tahu siapa yang bilang ini kan.

“Sekarang aku. Kenapa pak Hatake selalu pake penutup mulut?” tanya Kamenashi.

“Emang dibuat gitu kan imejnya sama Masashi Kishimoto?” jawab Lilin.

“Salah.”

“Buat tadah iler. Dia kan saudaranya ‘buto ijo’ yang nggak bisa ngeludah.” Jawab Phoo.

“Baka!!” siapa coba yang bilang ini.

“Biar disangka Aisyah di AAC.” Nite pun ikutan menjawab.

“Baka!!!” kayaknya orang ini cuma punya satu kata aja kali ya di kamusnya.

“Gara-gara dia panuan semuka!” jawab Aan tegas.

“Sugeeee….!!!!” Akhirnya dalam kamus Oguri nambah satu kata.

Mendengar jawaban Aan yang di luar nalar, mereka reflek tepuk tangan. Dewi fortuna kayaknya ada di belakang mereka, gara-gara tepuk tangan mereka, ada satu apel yang nggak kuat pegangan di dahan pohon trus jatuh. Tanpa tahu jawaban tebak-tebakan yang sebenarnya, mereka berenam lari-lari ke ruang guru sambil bawa apel yang tadi jatuh. Sampai di meja pak Hatake, orangnya sudah nggak ada, yang ada cuma secarik kertas di atas meja.

Apelnya taruh di sini saja, besok saya ambil, buat istri saya yang lagi ngidam pengen apel mateng pohon.

Terima kasih ya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar