Hari itu langit mendung dan terlihat gelap, angin bertiup sangat kencang membuat suara-suara bermunculan di berbagai tempat yang diakibatkan oleh kerja sama angin dan suatu benda, entah itu kaca, pintu, daun de-el-el.
Di sebuah ruang kelas tampak prof. Binss sedang berdiri di depan sembari menerangkan atau lebih tepatnya menceritakan perjalanan sejarah negara Jepang pada beberapa anak yang menjadi penghuni kelas itu.
Tampaknya suasana mendung di luar kelas mempengaruhi semangat belajar mereka, hampir tidak ada yang benar-benar memperhatikan cerita yang dibacakan oleh prof. Binss, masing-masing larut dalam kesibukannya.
Dini, satu-satunya anak yang masih belum menyerah memperhatikan alunan suara prof. Binss yang bagai lagu pengantar tidur sibuk membuat catatan. Sementara Siti yang juga sedang berusaha keras melawan rasa kantuknya berkali-kali menggelengkan kepala dan menggosok matanya untuk mengusir kantuk agar tidak tertidur.
Nia dan Ratna yang berada di depan mereka lebih memilih untuk bergosip dengan suara pelan. Di sisi lain, Oguri yang duduk paling belakang dekat jendela malah sudah pergi entah sampai mana dalam dunia mimpinya. Di samping kanannya, Aan asyik mencatat pesanan kosmetik dari anak-anak.
Lilin yang sudah menyerah untuk berusaha mengikuti cerita prof. Binss memilih menikmati pemandangan di luar jendela yang terlihat sedikit lebih menarik daripada suasana di dalam kelas.
2 kursi di depannya, Nite, seperti biasa, sibuk memperhatikan cowok yang duduk di sebelahnya tanpa berniat peduli sedikitpun dengan cerita mengenai perjuangan Tokugawa. Phoo yang berada satu barisan dengannya melakukan hal yang sama, hanya saja, jika Nite melihat ke kanan, maka Phoo sebaliknya, ke kiri.
Kamenashi, yang menjadi pusat perhatian kedua anak ‘gila’ itu hanya melihat ke papan tulis berwarna hitam dengan tatapan kosong.
Ketika suasana menjadi semakin hening, bahkan sampai suara detik jarum jam tangan yang dikenakan separuh anak terdengar bersahutan dengan jelas, dan semua anak semakin larut dalam dunianya masing-masing, tiba-tiba terdengar suara isakan pelan memecah kesunyian yang tercipta di tengah-tengah suara lembut prof. Binss.
Mata Siti yang sudah hampir terpejam terbuka dengan cepat. Dini mengalihkan perhatiannya dari buku catatan. Ratna dan Nia segera berhenti berbisik-bisik. Aan mengangkat wajah, melupakan daftar pesanan yang sudah menghabiskan separuh buku ketika suara isakan itu semakin lama semakin bertambah keras.
Nite dan Phoo mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas, tak lupa memeriksa di bawah meja, di dalam laci, di dalam tas bahkan saku pakaian yang mereka kenakan tak luput dari usaha untuk mencari asal suara. Oguri yang tampaknya sudah kembali dari perjalanan menjelajah dunia mimpi mengerutkan kening, heran.
“suara apa sih itu ?” kata Phoo masih melihat kanan kiri atas bawah depan belakang dengan cepat sehingga kepalanya seperti berputar 360 derajat.
Lilin terpaksa mengembalikan kesadarannya yang melayang-layang di halaman luar ke dalam kelas. Dengan sebal menoleh pada Akanishi yang duduk tepat di sebelah kanannya.
Kamenashi yang sejak awal mengenali suara itu segera berbalik dan dengan segera, seperti yang sudah di duganya, menemukan apa atau lebih tepatnya siapa yang menyebabkan suara itu muncul.
“Akanishi kenapa ?” tanya Nite yang mengikuti arah pandangan Kamenashi dan jadi ikut menyadari akar masalah.
Wajah Akanishi dipenuhi dengan air yang mengalir deras dari kedua matanya, meski berusaha keras menutup mulut dengan tangan, tapi suara yang keluar tidak juga mereda, bahkan semakin keras, begitu juga dengan air matanya, ada kali satu galon kalo di kumpulin.
“kau apain dia ?” guman Oguri pada Aan yang duduk di sebelahnya sambil menunjuk Akanishi dengan kepalanya.
“apa ? memangnya aku ngapain ?” protes Aan gak terima dituduh hanya gara-gara dia duduk di belakang Akanishi. Padahal sejak awal kan dia dah duduk di situ duluan.
“kenapa ? sakit perut ? pusing ? sakit gigi ? sariawan ? apa jerawatan ?” tanya Phoo beruntun.
Akanishi menggeleng sambil memberi tanda dengan tangannya bahwa dia tidak apa-apa dan menyuruh mereka agar tidak terlalu menghiraukannya.
Lilin menengok ke belakang dengan tatapan bertanya pada Oguri. Oguri hanya mengangkat bahu sebagai jawaban dan ganti memandang Aan. Aan hanya menggelengkan kepala dan balik menatap Lilin.
Sementara Phoo dan Nite saling pandang dengan tatapan tak kalah herannya. Kamenashi hanya menghela nafas dan kembali menatap papan tulis hitam di depannya, gak peduli.
“sudah, biarkan saja” katanya pelan
“tapi kan....” Nia angkat bicara setelah capek liat-liatan ma Ratna, Dini dan Siti. Meski mereka sepakat selain mereka, anak yang lain memang agak diragukan ke’waras-an-nya, tapi toh mereka tetap teman sekelas.
“beneran gak papa dibiarin ?” sahut Ratna ikut kuatir. Dini dan Siti menganggukkan kepala sependapat.
Nite, Phoo, Aan, Oguri dan Lilin melihat Kamenashi ingin tahu dan minta penjelasan, meski tiga orang yang disebut terakhir hanya bisa memelototi punggung Kamenashi, gak bisa liat wajahnya.
“Akanishi itu memang dari dulu begitu” kata Kamenashi menjelaskan “biar kelihatannya seperti itu, tapi perasaannya halus, jadi mudah terharu kalau dengar cerita sedih”
Serentak semua mata kembali berpaling pada Akanishi yang sekarang menganggukkan kepala meski masih tetap menangis dan membungkam mulutnya sendiri.
Melihat gerakan Akanishi yang tadinya sibuk menggelengkan kepala sekarang berubah menganggukkan kepala, dah kayak orang dugem, Lilin teringat suatu hal yang amat sangat penting sekali.
“hoi, balikin mp3 Project-P ku” seru Lilin tiba-tiba ke arah Nite yang dengan segera mengarahkan jari telunjuknya ke samping.
Kamenashi mundur sedikit agar arah yang dimaksud Nite tepat sasaran, yaitu Phoo, yang sekarang juga menunjuk ke kursi paling belakang di lajur Kamenashi.
Akanishi, yang masih juga belum berhenti menangis mengikuti gerakan Kamenashi, sedikit bergeser ke kiri agar Phoo dengan tepat menunjuk orang yang duduk di belakangnya.
Aan mengangkat tangannya, tapi sebelum sempat menunjuk orang lain, Oguri dengan santai mengulurkan kepingan cd pada Lilin.
“gara-gara ini jatah coklat-ku di sita ma kakak” guman Lilin sembari mengamankan barang bukti itu ke dalam tas untuk diberikan pada yang berwenang.
Sementara itu, hujan mulai turun di luar dan ketika semua anak sudah kembali dalam dunianya masing-masing, terdengar suara lembut pelan yang sebelumnya sempat teredam oleh seruan-seruan heran karena ulah Akanishi. Perlahan tapi pasti kembali muncul, ternyata sejak tadi prof. Binss masih saja terus bercerita dan tidak menyadari apa yang baru saja terjadi.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar