Agustus 27, 2009

Hima2.006 Reunian euy...

Di langit biru, matahari sudah menggantung. Panas sudah merajalela. Tapi atmosfer di dalam kedai Poedinkoe jauh dari panas. Sangat amat dingin. Apa bos Olga pelitnya udah ilang n sekarang beli AC ya…
“Nggak mungkin… daripada pasang AC di sini, mending pasang di kamar sendiri…” kata bos Olga yang kamarnya cuma pakai kipas kitir-kitir.

Di dapur, Aan mengaduk sop jagungnya dengan kecepatan yang sama sementara matanya menatap kosong ke dalam panci.
Akanishi duduk di meja kasir sambil ngemut lollipop yang udah dua jam lebih nangkring di sana.
Lilin dengan setia nungguin lollipopnya Akanishi jatoh biar bisa disikat.
Kamenashi nyapu lantai di tempat yang sama dari tadi, sampai-sampai tuh lantai kinclong abis. Bisa buat ngaca.
Phoo berdiri di depan cermin, tangan kanannya megang lap, tangan kirinya megang semprotan kaca. Semprot. Lap. Semprot. Lap. Sudah ratusan kali dia kayak gitu, sampai kacanya nggak tahan buat retak.
Nite nyalurin bakatnya gratisan buat nggambar muka mereka bertujuh di tembok kedai. Matanya nggak mau lepas dari gambar muka Kamenashi yang digambar paling sempurna.
Oguri ngebantuin Nite buat ngecat backgroundnya pakai warna item. Biar bernuansa gothic katanya.
Mereka bertujuh lagi aneh? Nggak. Mereka normal kok. Terlalu normal malah kalau inget batas kenormalan mereka yang melenceng dari manusia pada umumnya…
Bos Olga mengamati dari kejauhan.
“Hmmm…”
Tangan kanan bos Olga menopang dagunya.
“Hmmm…”
Radar indera keenam bos Olga mencium ada sesuatu di antara mereka. Memang sih, sehari-hari mereka emang aneh. Tapi ini lebih aneh, nggak kayak biasanya mereka diam hening kayak gini. Keanehan di dalam kenormalan mereka kalau menurut istilah bos Olga.
“Jangan-jangan gara-gara itu…” mata bos Olga melirik ke arah sebuah kartu yang tergeletak tak berdaya di atas meja.
Di atas kartu itu tertulis ‘UNDANGAN REUNI UNDIAN H.S.’ Kartu itu sesekali mengeluarkan petir berwana biru. Dari kartu itu keluar aura-aura negatif yang membuat satu ruangan menjadi dingin dan gelap. Terpaksa deh bos Olga nyalain lampu cadangan biar terang, karena satu-satunya lilin di ruangan itu menolak keras buat dinyalain. Pemborosan, keluh bos Olga.

“Datang nggak…” tanya Aan. Mereka bertujuh duduk melingkari kartu undangan yang nggak tahu gimana caranya tiba-tiba ada di dalam kedai Poedinkoe pagi-pagi tadi.
“Nggak usah yuk…” jawab Lilin. Mendengar kata-kata Lilin, tuh kartu langsung mengeluarkan petir berwarna biru, menyambar Lilin. Enam orang yang lainnya langsung menelan ludah bareng-bareng.
Mata Oguri menatap kalimat kecil yang berada di pojok kiri atas kartu. ‘Kalian wajib datang!’
Yang jadi masalah adalah kalimat itu ditulis secara khusus sama mantan guru kesayangannya Oguri, yang tak lain dan tak bukan adalah prof. Snape.
“Kata ‘wajib’-nya pakai hurup capital…” kata Nite.
“Capital, Bold, Italic, Underline…” Akanishi melengkapi.
“Belum lagi stabillonya, merah darah…” tambah Kamenashi.
Sekali lagi mereka menelan ludah bersamaan.
“Kenapa sih kalian… khan asyik reunian… bisa ketemu teman-teman…” kata Phoo yang dari tadi cuma ikut-ikutan nelan ludah biar dibilang setia kawan.
“Reunian sih emang asyik, tapi kalau nggak pakai ini…” jawab Oguri sambil nunjuk kalimat dari prof. Snape yang sarat hawa pembunuhan.
Kalimat itu sesekali mengeluarkan kilatan-kilatan petir yang siap menyambar siapa saja yang berniat untuk nggak datang.

Setelah bersemedi 3 hari 3 malam di bawah pohon toge, setelah 3 hari bikin bos Olga bingung melihat mereka, akhirnya mereka memutuskan untuk datang ke reunian nanti malam.
Dan malamnya.
Langit tampak tak bersahabat. Awan gelap menggumpal, kayak arum manis. Bintang-bintang memilih bersembunyi di balik awan. Bulan pun tak menongolkan idungnya.
“Andai bulan bisa ngomong…” kata Phoo sambil melihat ke atas. Fenomena aneh. Langit mendung cuma ada di atas sebuah bangunan yang bertuliskan ‘MUSEUM’. Sedangkan langit sekitarnya tampak cerah-cerah aja, dihiasi bintang-bintang yang tersenyum kepada sang bulan.
Mereka bertujuh berbaris di depan pintu masuk. Meskipun jam reuninya jam 10 malam, tapi mereka sudah dari jam 8 tadi mereka datang dan terpatung di depan pintu masuk. Hebat…
“Ngapain kamu tepok tangan?” tanya Akanishi pada Lilin.
“Nggak. Jarang-jarang aja kita in time kayak gini…” jawab Lilin. Mendengar secuil bahasa Inggris keluar dari mulut Lilin, anak-anak yang lain tambah bergidik bulu kudunya, malam yang mengerikan…
“Aku nggak bisa ngebayangin kalau kita datangnya telat…” kata Nite. Kamenashi dan Akanishi mengangguk setuju.
“Silahkan duluan…” kata Oguri pada Aan karena merasa Aan lah yang paling tua.
“Nggak mau, kamu duluan…” kata Aan sambil mendorong Akanishi.
“Ladies first…” Akanishi mempersilahkan Lilin untuk masuk.
Kamenashi, Nite, Phoo, Aan, dan Oguri saling lihat-lihatan.
“Ladies? Kamu nyuruh siapa?” tanya Phoo polos.
Kamenashi melangkahkan kakinya ke depan. Keenam temannya yang lain tepok tangan.
“Pahlawan kita…” kata mereka kompak.
“Nggak, kakiku cuma kesemutan…” kata Kamenashi menarik balik kakinya.
“Cih…” kata Lilin.
Tiba-tiba dari belakang,
“Ngapain kalian lama-lama di sini?”
“Wuaaa!!!” teriak mereka bertujuh kaget mendengar suara dari belakang. Mereka pun kompak menoleh ke belakang.
“Ryan sensei…” kata Aan, Phoo, dan Nite terharu melihat satu mantan gurunya itu.
Dengan gerakan slow motion, mereka bertiga merentangkan tangan untuk melepas rindu kepada Ryan sensei. Dengan gerakan the flash, Ryan sensei menangkis mereka bertiga dengan raket nyamuk yang dia bawa. Pok… pok… pok…
Lilin yang nggak ikut-ikutan, ketawa ngeliat ketiga temannya ditolak mentah-mentah. Tiba-tiba ada sebuah sepatu kaca melayang ke jidat Lilin. Duakk… pryangg…
“Sepatu kacaku…” tangis Phoo melihat sepatu kacanya pecah setelah beradu dengan jidat Lilin. Sedangkan Lilin mengelus-ngelus jidatnya yang benjol kena hak sepatu kacanya Phoo.
“Ngapain kalian berdiri saja? Ayo masuk!!” kata Ryan sensei sambil mendorong mereka bertujuh untuk masuk ke dalam.
Dan begitu pintu museum itu dibuka…
Kyaaa… kyaa… kyaa…
Dan masih banyak ‘kya’ lagi.
“Nani ga…” kata Akanishi yang sok pakai bahasa Jepang dengan logat Amerika, jadi kayak Cinta Laura.
Mata mereka terkagum sekaligus heran sekaligus takut melihat apa yang terjadi di dalam sana.
Dari lorong, keluar fosil dinosaurus yang tingginya nggak kalah tinggi dari Tugu Muda sedang mengejar-ngejar tulang yang dilemparkan oleh seorang koboi yang tingginya nggak beda jauh sama jari jempol Oguri.
Dari koridor ada mumi yang lagi jalan-jalan bareng sama manusia purba. Mereka lihat-lihat lukisan monalisa yang nutupin idungnya pake sapu tangan waktu tuh manusia purba mendekat.
“Minna san!!” teriak Ratna dari kejauhan. Ratna emang sengaja manggil mereka pakai kata ‘minna’ karena malas nyebutin nama mereka satu per satu.
“Apa kabar?” tanya Aan yang menghampiri Ratna kemudian saling cipika cipiki kayak ibu-ibu arisan disusul Phoo sama Nite. Tapi nggak sama Lilin, bukan muhrimnya katanya…
“Apa kabar kalian?” tanya Nia.
“Bae…” jawab Phoo sambil nerusin cipika cipiki sama Nia, Dini, Pipit n Dexter. “Lho? Monyet sapa nih?” tanya Phoo yang sadar kalau makhluk terakhir yang dia cium ternyata seekor monyet.
“Oh, ini… monyetnya madam Ivan…” jawab Nia yang lagi ngebarisin kutu-kutunya.
“Ruben udah punya keluarga yang bahagia sekarang…” jawab Dini yang ikut-ikutan ngitungin kutu-kutunya Nia. Kalau satu kutu bisa dijual 1000 perak, semuanya jadi berapa ya, pikir Dini.
“Sekarang kalian kerja dimana?” tanya Pipit yang dari tadi megangin perutnya terus.
“Kita?” tanya mereka bertujuh barengan.
“Aku sih kerja di toko keluargaku…” jawab Kamenashi gugup.
“Aku juga kerja di toko kainnya Kamenashi…” jawab Akanishi.
“Aku kerja di rumah aja… jadi penulis lepas gitu…” jawab Phoo.
“Aku kerja di warung warisan ibuku…” jawab Aan.
“Aku kerja di warnet…” jawab Lilin.
“Aku kerja di firmanya ‘pak-ku…” jawab Nite.
“Aku nemenin mereka berenam kerja di kedai Poedinkoe sambil ngelamar-ngelamar…” jawab Oguri. Enam pasang mata langsung mendelik ke arah Oguri.
“Lho? Kalian nggak ikutan magang?” tanya Nia.
“Magang? Magang apa ya?” tanya Phoo pura-pura nggak tahu padahal emang nggak tahu.
“Magang di Jepang… aku aja magang di perusahaan Kabuto…” jawab Ratna.
“Kan abis wisuda kita kumpul di sekolah buat pembagian tempat magang…” jawab Pipit yang waktu itu nolak buat magang kerja dan lebih milih nikah aja…
[jadi, selama ini aku kerja rodi di warung tanpa bayaran, mereka enak-enakan magang di Jepang…] batin Aan.
[selama aku jual suara dan tubuhku…] batin Kamenashi.
[selama aku jadi pesuruhnya Kamenashi…] batin Akanishi.
[selama aku mbusuk di rumah…] batin Lilin.
[selama aku berubah jadi Cinderela…] batin Phoo.
[selama aku nonton anime terus…] batin Nite.
[…] batin Oguri yang nggak berani mikir karena takut diplototin lagi.
“Kalau cuma di dalam hati, nggak apa-apa!” kata Aan pada Oguri.
[berarti sia-sia donk kita semua membusuk jadi pengacara…] batin Oguri.
Enam pasang mata langsung melotot ke arah Oguri lagi.
“Katanya kalau cuma di dalam hati boleh…” protes Oguri sambil jongkok di pojokan.

Drttt… drttt…
Tiba-tiba lampu di dalam gedung dengan tulisan ‘MUSEUM’ itu berkedip-kedip genit. Dan dari setiap penjuru menggema sebuah suara.
“Kalian bertujuh!! Benar-benar cari mati ya…!!!”
Kamenashi dkk saling merapatkan barisan ketakutan.
“Itu suaranya siapa?” tanya Kamenashi.
“Suaranya Dexter!” jawab Nite sambil nunjuk ke monyet yang masih nangkring di pundaknya Phoo. Dexter yang nggak tahu apa-apa cuma bisa geleng-geleng.
“Poltergeist…” jawab Lilin yang udah mau ngeluarin boneka voodoo-nya.
“Suaranya mbah Surip!” jawab Phoo dari belakang punggungnya Kamenashi.
“Bukan… itu suaranya…” kata Aan.
“Suaranya siapa?” tanya Akanishi penasaran. Yang lainnya juga ikutan penasaran.
“Suaranya…” jawab Aan terbata-bata. Aan narik tangannya Oguri yang masih betah ternak jamuran di pojokan. “Suaranya siapa?” tanya Aan pada Oguri.
“Suaranya prof. Snape…” jawab Oguri datar.
Tiba-tiba lampu di dalam ruangan itu mati semua, menyisakan sebuah lampu sorot yang menyorot sosok prof. Snape dalam balutan kain kafan, eh maksudnya jubah item. Kemudian tanpa kata-kata, prof. Snape mengacungkan jari telunjuknya, menunjuk ke arah mereka bertujuh.
“Kita disuruh ngikutin dia…” kata Kamenashi.
“Sugee…” kata anak-anak yang lainnya sambil tepok tangan. Nggak heran ni orang jadi ketua kelas mereka, emang udah dari sananya disetel pinter, prof. Snape nggak perlu ngomong juga dia tahu apa maksudnya.
Nggak mau kalah dengan prof. Snape, Kamenashi menjawab kekaguman teman-temannya tanpa suara juga, hanya mengacungkan jari telunjuknya, menunjuk lurus ke depan. Mata keenam temannya mengikuti arah jari telunjuk itu, dan di ujung sana, tepatnya di sebelah prof. Snape berdiri, berdiri pula Dexter, si monyet cerdik sambil membawa kertas karton bertuliskan ‘ikuti saya!’.

Kamenashi dkk berjalan mengikuti prof. Snape ke dalam. Melewati koridor panjang. Melintasi ballroom yang luas. Masuk kamar, keluar kamar. Masuk kamar mandi, keluar lagi, salah ruangan. Sampai akhirnya tiba di sebuah ruangan kecil yang jendelanya menghadap ke ruang depan tempat mereka tadi.
“Duduk!” kata prof. Snape sambil menuju ke sebuah meja.
Kamenashi dkk melihat ke kanan & ke kiri. Tidak ada satu pun kursi atau benda yang mirip-mirip kursi. Mereka jadi bingung. Tapi bukan Kamenashi dkk namanya kalau kehabisan akal. Mereka bertujuh bagi tugas. Tiga jadi kursi, tiga duduk, satu jadi patung.
“Kalian…” kata prof. Snape yang terhenti setelah melihat mereka bertujuh dengan pose yang kurang wajar. “Kalian ngapain?” lanjutnya.
“Duduk…” kata Kamenashi yang dapat undian jadi yang duduk.
“Kalau nggak ada kursi, ya sudah berdiri saja…” kata prof. Snape.
Mereka pun berdiri kembali.
“Ini…” kata prof. Snape sambil memberikan lembaran-lembaran yang berlembar-lembar.
Kamenashi dkk mengambil kertas-kertas itu.
“Ini…” kata Phoo dengan suara penuh haru.
“Ini…” kata Aan mencoba mengulangi keharuan Phoo.
“Beneran nih…” kata Lilin dan Nite kompak. Mata mereka pun berkaca-kaca.
Sedangkan Kamenashi, Akanishi, dan Oguri tidak mengeluarkan suara sedikit pun, hanya menatap kertas-kertas itu dalam-dalam. Di depan mereka, prof. Snape untuk pertama kalinya mengguratkan senyum di wajahnya, walaupun lebih terkesan menakutkan.
“Ini apa??” tanya mereka bertujuh kompak. Kertas-kertas itu ditulis dengan menggunakan bahasa Jepang full kanji. Sudah berbulan-bulan mereka bertujuh berpisah dengan hurup kotak-kotak itu. Mereka sama sekali nggak ngerti. Saking nggak ngertinya, sampai-sampai mereka menangis terharu.
Di depan mereka, prof. Snape menghapus ‘senyum’nya.
“Dulu kalian nggak ikut magang kan?” kata prof. Snape. “Itu buat kalian. Kalian boleh nyusul magang…” lanjutnya.
Tidak percaya dengan pendengaran mereka, tapi mereka takut prof. Snape berubah pikiran. Mereka pun mengangguk bahagia…
[Jepang! Aku datang!!] batin mereka kompak…

つつく


Tidak ada komentar:

Posting Komentar