Agustus 05, 2009

Hima.028 Jamur Beracun - Biji Kedua

Hari sudah malam banget. Tapi Lilin belum juga menampakkan batang hidungnnya di dalam kamar.

“Lilin kemana sih?” tanya Aan sementara matanya masih menatap ikan koinya Lilin.
“Tadi sih aku liat di dalam kamar mandi.” Jawab Nite sambil makan ice cream.
“Ngapain?”
“Mana aku tau. Aku cuma liat dia diem berdiri di depan kaca.”
“Kacanya nggak retak khan?” tanya Phoo sambil terus nonton MVnya KAT-TUN di HPnya.
“Ya nggak lah. Udah diganti kaca yang anti peluru kok.” Jawab Nite ringan sambil terus makan ice cream padahal udah tinggal sisa-sisanya yang cair yang nempel di tempatnya.
“Lilin di depan kaca? Lama?” kata Aan pelan. Mereka pun berpikir yang nggak-nggak. Karena Lilin berkaca aja udah aneh, apalagi sampe selama ini. Mereka kemudian berlari secepat kilat ke arah kamar mandi. Nite meninggalkan tempat ice creamnya yang sebenarnya masih sisa beberapa tetes. Aan meninggalkan ikan mas koi milik Lilin, padahal dia belum menemukan nama untuk ikan koi itu. Phoo meninggalkan HP-nya yang sekarang sedang menampilkan goyang gergajinya Dewi Persis.
Di depan kamar mandi, mereka bertiga pelan-pelan mengintip ke dalam. Dilihatnya Lilin masih berada di depan kaca.
“Duh, tas pinggangku tambah gede.” Gumam Lilin. “Ini siapa sih yang habis sisiran di sini. Rambutnya pada rontok semua nggak dibersihin.”
Di luar, Aan, Phoo, dan Nite saling berpandang-pandangan. Mereka mengeryutkan alis mata mereka tanda mereka bingung dengan apa yang mereka lihat saat ini.
“Hei, kalian ngapain?” tanya Lilin yang tiba-tiba muncul dari dalam kamar mandi dengan muka kinclong abis.
“Nggak, nggak ngapa-ngapain kok.” Jawab mereka kompak.
“Lin, kamu pake apa sih?” tanya Aan heran melihat mukanya Lilin.
“Oh, ini krim malam. Tadi ada yang ninggalin di dalam sana. Kadaluarsanya sih bulan ini, tapi nggak papalah, sayang kalau dibuang.” Kata Lilin seraya berlalu melintasi mereka. Tinggallah Aan, Phoo, dan Nite saling berpandang-pandangan.

Besok siangnya, di café Undian HS.
“Gila, pak Hatake kejam banget. Kita beneran disuruh nyari tuh jamur sampai dapat.” Kata Chibi yang sibuk ngukur panjang mie ayamnya.
“Nggak tahu tuh. Apa ya yang ada di kepalanya.” Lanjut Nite yang ngebantuin Chibi megangin penggaris.
“Ssst. Nggak baik ngomongin guru!” kata Phoo dari meja sebelah. Phoo menempelkan jarinya ke mulutnya yang penuh dengan nasi goreng pete setengah mateng.
“Apaan sih. Biasanya juga gimana.” Kata Aan yang duduk di sebelahnya.
“Maksudku, nggak baik ngomongin guru kalau orangnya ada di sebelah kamu.” Kata Phoo sambil menunjuk ke arah bangku sebelah yang udah diduduki oleh tiga orang guru dan salah satunya adalah pak Hatake. Saat mereka menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Phoo, pak Hatake hanya tersenyum kecil sampai-sampai anak-anak nggak tahu kalau dia sedang tersenyum. Ya iyalah nggak tahu, khan pak Hatake pake penutup mulut yang sampe seidung, jadi nggak keliatan. Saking nggak pernahnya tuh penutup idung dibuka. Pak Hatake selalu saja jadi satu-satunya orang yang nggak pernah memesan makanan ataupun minuman di café ini. Tapi entah kenapa setiap kali dia pergi dari café ini, penutup mulutnya selalu basah.
Melihat pak Hatake, mereka cuma bisa membalas senyum yang nggak kalah kecilnya dan mengalihkan pandangan mereka. Kali ini pandangan mereka tertambat pada sebuah sosok mungil yang sedang makan dengan sangat anggun di antara Phoo dan demit, joki yang mereka sewa kali ini.
“Kenapa sih Lilin? Setiap kali jatuh pasti jadi aneh.” Kata Kamenashi dari bangku berbentuk beruang di seberang Aan.
“Nggak tahu.” Kata Aan sambil terus memasukkan nasi putih ke dalam mulutnya yang masih penuh dengan nasi.
“An, kalau makan itu sedikit-sedikit.” Kata Lilin. “Aduh, itu. Nasinya kemana-mana. Kalau makan yang rapi donk!!”
Aan cuma bisa mendelik heran. Sementara anak-anak yang lain nggak kalah herannya. Selain hari ini dia cuma pakai rok pink berenda-renda, rambutnya dikeriting spiral trus pake jepit bunny di poni depannya, dia juga dari tadi komentar terus. Apa aja yang dilihatnya selalu dikomentari. Ada anak pakai sepatu talinya lepas, dikomentari. Ada pak satpam topinya miring, dibenerin sambil ngomel-ngomel. Dini yang nggarisin buku tagihannya nggak rapi, dirapihin. Nia yang kutunya kadang-kadang ngintip keluar, dimarahi. Belum lagi, Iwan sensei yang tadi jalan di depannya tiba-tiba disamperin, trus dinasehati kalau jalan itu jangan mentul-mentul.
Ini anak menarik banget kalau abis jatuh, pikir anak-anak.
Sore ini, sesuai rencana anak-anak, mereka menghadap pak Hatake lagi.
“Pak, kita sudah mencari kemana-mana, tapi kita nggak nemu yang bapak minta.” Kata Kamenashi mewakili teman-temannya.
“Kalian carinya kemana? Anak-anak kelas 3C aja pada dapet.” Jawab pak Hatake sambil menunjuk ke arah tumpukan jamur yang dimaksud. Anak-anak pun kaget melihat tumpukan jamur itu.
“Ya ampun, pak. File-file itu dirapikan donk pak, jangan berantakan kayak gini!” kata Lilin sambil membereskan file-file di atas meja pak Hatake.
“Sekarang bukan saatnya buat itu.” Kata Akanishi ke Lilin cepat.
“Terus, kalian mau gimana?” tanya pak Hatake.
“Kita minta dispensasi…” jawab Kamenashi. Di ujung barisan, Lilin lebih tertarik dengan ballpoint-ballpoint yang berantakan di atas mejanya Prof. Umbridge. Seolah mengerti kalau Lilin akan meluncur ke arah mejanya Prof. Umbridge, Oguri dengan sigap menjulurkan kakinya ke depan kaki Lilin yang memakai sepatu pink berpita silver dengan hak tinggi. Alhasil, saat Lilin melangkahkan kakinya, dia pun tersandung kakinya Oguri. Sebelum idungnya menyentuh tanah, jidatnya terlebih dahulu terbentur mejanya Prof. Snape yang tempatnya tepat di sebelah meja pak Hatake.
Duakkk…
Mendengar suara itu, semuanya langsung menatap ke arah Lilin. Lilin pun bangun dengan benjolan sebesar bola tenis berwarna biru di jidatnya. Melihat itu, Kamenashi pun menahan ketawa dan mengelus benjolan sebesar bola golf di kepala bagian belakangnya yang udah mulai kempes.
“Dispensasi kayak gimana?” pak Hatake kembali berkata. Sementara Lilin masih sibuk mengurut jidatnya yang senut-senut.
“Ya, kita minta tugas pengganti saja.” Jawab Kamenashi. Mata Lilin lagi-lagi jelalatan.
“Tugas pengganti?” tanya pak Hatake. Mata Lilin yang shopping kemana-mana itu tertancap pada tumpukan jamur-jamur yang tersusun sangat tidak rapi.
“Iya, pak.” Jawab Kamenashi. Lilin pun melangkahkan kakinya ke arah tumpukan jamur itu. Kali ini Oguri nggak mau menghalangi, karena dia masih merasa bersalah dengan kejadian sebelumnya.
“Baiklah. Kalian maunya tugas kayak gimana?” tanya pak Hatake sekali lagi. Sementara Lilin sudah berada di depan tumpukan jamur-jamur itu dan mulai menyusunnya menjadi menara.
“Bagaimana kalau kita disuruh buat laporan saja?” tawar Kamenashi. Lilin yang sudah selesai menyusun jamur-jamur itu menjadi menara tujuh tingkat, mulai kebingungan dengan sisa satu jamur yang masih ia pegang. Sesekali ia coba menaruhnya di atas menara jamur buatannya, tapi dia takut nanti malah roboh. Sesekali ia melirik tong sampah di sebelah meja pak Hatake, tapi khan nggak boleh buang-buang makanan. Lilin pun mulai kebingunan sendiri. Harus ditaruh dimana jamur itu. Akhirnya ia pun mengalah dan memilih untuk memakan habis jamur itu. Ia memakan jamur yang nggak enak rasanya itu demi sebuah kesempurnaan bentuk menara tanpa ada yang melihat. Setelah jamur itu tinggal satu suap, barulah Oguri kembali sadar dari rasa bersalahnya dan melihat Lilin sudah hampir menghabiskan jamur beracun itu.
“Jangan dimakan!” teriak Oguri. Anak-anak yang lain bukannya melihat ke arah Lilin yang jadi obyek ucapan Oguri, tapi mereka melihat Oguri dengan keheranan. Heran mendengar Oguri mengucapkan sebuah kalimat perintah. Lilin yang nggak peduli dengan larangan Oguri, langsung menelan potongan terakhir jamur itu. Dan seketika itu juga ia jatuh pingsan…

“Lin…” kata Phoo pelan di hadapan Lilin yang belum juga membuka matanya. Aan dan Nite yang berada di sebelahnya terpaksa harus menutup idung mereka, dan Lilin yang masih pingsan langsung sadar begitu menghirup bau pete hembusan dari mulutnya Phoo.
“Lin…” kata Nite pelan, kali ini Nite lebih memilih menutup mulutnya ketimbang nanti Lilin pingsan lagi. Lilin pun pelan-pelan membuka matanya. Dilihatnya tiga orang malaikat di sekitarnya.
“Ini surga ya…” kata Lilin lirih. “Aku kok udah mati?!! Padahal aku belum selesai donlot film Full House. Aku juga belum nonton film Kuch Kuch Hota Hai.”
“Semua itu ada hikmahnya…” kata Aan sambil tersenyum muanisssss buangetttt…
“Kalau nanti kamu lahir lagi, jangan nakal ya…” kata Nite yang juga tersenyum nggak kalah muanisnya.
“Biarkan teman-temanmu yang melanjutkan perjuanganmu…” kata Phoo yang juga tersenyum suangatt muanisss…
Mendengar dan melihat mereka bertiga, Lilin langsung sadar kalau dia sebenernya ada di neraka bukan di surga.
“Lho, Lin. Udah sadar??” kata Akanishi yang masuk ke dalam sambil membawakan teh hangat.
“Uh, kepalaku pusing…” jawab Lilin sambil megangin kepalanya yang nyut-nyutan. Tangannya nggak sengaja meraba benjolan di jidatnya. “Lho, ini apa?” tanyanya heran.
“Kan tadi kamu jatuh terus kepentok meja.” Jawab Phoo.
“Jatuh kepentok meja? Di jurang mana ada mejanya?” Lilin masih mengelus-elus jidatnya yang tampak kebiru-biruan itu.
“Jurang? Tadi tu khan kamu jatuhnya di ruang guru, bukan di jurang. Jatuh di jurang sih kemarin. Heran, hobi kok jatuh.” Jawab Nite.
“Kapan?” Lilin pun mulai kebingungan sendiri. Ditambah lagi kali ini dia nggak sengaja melihat rok pink berenda-renda, terus rambutnya yang dispiral, lengkaplah sudah syok-nya. Karena Lilin nggak bisa menahan kebingungan yang melandanya kali ini, dia pun jatuh pingsan sekali lagi.
“Tuh kan, hobinya kalo nggak jatuh ya pingsan.” Kata Nite sambil menyelimuti tubuh Lilin sampai ke kepala.
* * *


Tidak ada komentar:

Posting Komentar