Maret 01, 2009

Hima.021B Piknik Sehari (2)

Matahari sudah meninggalkan puncak kejayaannya, kini ia berada di ufuk barat. Anak-anak kelas 3 Undian High School telah selesai menikmati pikniknya di outbound Sidomukti ini. Kini mereka bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan mereka ke tempat terakhir yaitu perkebunan kopi. Kali ini mereka memilih bus juga berdasarkan feeling mereka. Aan dan Oguri memilih naik bus nomor 2, dan berjumpalah mereka dengan madam Ivan. Phoo, Kamenashi, Nite, dan Akanishi memilih untuk naik bus nomor 1, dan berjumpalah mereka dengan Prof. Snape, lagi. Sedangkan Lilin yang keberadaannya sudah mulai terlupakan, naik bus nomor 3 karena dia kira dia melihat Aan dan Phoo di dalam, ternyata yang menantinya di dalam adalah Prof. Umbridge.

Suasana bus nomor 1 kali ini lebih suram dari sebelumnya. Bukan hanya anak-anak yang nggak sengaja masuk ke kandang macan ini yang merasa terhimpit, tapi Prof. Snape yang duduk di barisan paling depan pun juga merasakan himpitan dari atmosfir pekat yang melingkupi Kamenashi, Nite, dan Akanishi.
Sesampainya di perkebunan kopi, anak-anak turun dengan tertib. Phoo, Akanishi, Kamenashi, dan Nite begitu turun langsung menghampiri ruang duduk. Dari bus nomor 2, Aan dan Oguri turun berebutan padahal pintunya ada dua biji. Dari bus nomor 3, Lilin turun dengan tubuh yang semakin kurus, anak-anak yang melihatnya menyangka Lilin terkena anoreksia.
Aan yang berjalan di belakang Oguri, menggandeng Lilin yang udah sempoyongan mabuk sama suaranya Prof. Umbridge sepanjang perjalanan.
“Eh, itu mereka berempat.” Kata Aan melihat Kamenashi, Akanishi, Nite, dan Phoo sedang duduk di ruang duduk sambil rujakan.
“Hoi!! Kok tadi ninggal sih?” kata Aan. “Liat nih, Lilin udah jadi mumi kayak gini…” lanjut Aan sambil menunjukkan mumi Lilin kepada mereka berempat.
“Waduh teh, bukannya bermaksud mau ninggalin sih. Tapi apa boleh buat kalo lupa.” Kata Phoo.
“Kok kalian disini? Bukannya kudu kumpul di sana?” tanya Aan.
“Itu sih tergantung kaki melangkah aja deh teh. Kalo emang maunya kesini, ya apa boleh buat.” Jawab Phoo.
“Kakinya Kamenashi maksud kamu?!” Aan, Lilin, dan Oguri pun ikut bergabung dengan mereka berempat yang masih asyik rujakan. Di atas sebuah daon kelor, tergeletak berbagai macam buah-buahan, ada buah nangka, pepaya, pisang, rambutan sampe buah tangan. Entah siapa yang memilih buah-buahan untuk rujakan kali ini, yang pasti, mereka jadi nggak minat makan tu buah-buahan sama sambel yang udah diulek dengan lembut dan penuh perasaan ama Nite.
“Eh, tau nggak?? Tadi di bus rame banget. Anak-anak pada nyanyi bareng madam Ivan.” Kata Aan.
“Nggak. Nggak tau!!” jawab Lilin. “Di tempatku rame, tapi rame suaranya ibumu.”
“Di tempat kita kayaknya malah sepi-sepi aja ya?” kata Nite minta persetujuan dari ketiga teman senasibnya.
“Au dah. Aku sih nggak denger apa-apa.” Jawab Phoo.
“Kalo nggak denger apa-apa ya itu namanya sepi!” mereka bertujuh asyik sekali makan rujak di ruang duduk. Karena buahnya nggak enak kalo dimakan bareng sambel, terpaksa mereka makannya pisah. Buah dulu ampe abis, baru sambelnya. Dan tak terasa udah 2jam mereka duduk-duduk di situ.
“Ayo kumpul di sini!” kata madam Ivan.
“Eh, disuruh kumpul tuh!” kata Aan sambil membereskan sisa rujakan mereka. Mereka bertujuh pun maju ke tempat kumpul yang dimaksud.
“Kok, dari tadi kumpul terus sih? Kapan jalan-jalannya?” tanya Phoo ke Ratna.
“Lho, udah. Barusan.” Jawab Ratna.
“Barusan?”
“Iya, kalian kemana?”
“Kita khan nunggu dipanggil di sana.” Jawab Phoo sambil menunjukkan ruang duduk mereka tadi.
“Lho, kok nggak kumpul waktu tadi dipanggil?”
“Yak, anak-anak. Tadi khan kita sudah keliling di perkebunan ini. Sesuai kata saya tadi, kalian harus membuat laporan tentang kunjungan kita kali ini. Paling lambat minggu depan.” Kata madam Ivan menggema di seluruh perkebunan. Orang-orang yang berada di perkebunan mengira suara madam Ivan sebagai wangsit dari yang di atas.
“What?” teriak Akanishi, Kamenashi, Aan, Nite, Oguri, dan Nite.
“Tugas apaan? Jalan-jalan aja belum.” Kata Aan.
“Belum apanya? Lha, kalian tadi kemana?” kata Ryan sensei sambil nyambit kepalanya Aan pake ranting kopi. Dari balik badannya madam Ivan, cuma Phoo yang kelihatan nggak kaget.
“Phoo!!” kata Oguri.
“Aku juga barusan tau kok.” Kata Phoo.
“Terus, kita gimana donk?” tanya Nite.
“Coba tanya yang lainnya…” kata Lilin. Phoo langsung ke tempat Ratna.
“Na, emang tadi ada apa aja sih? Nanti kalau laporanmu dah selesai, aku liat ya…” kata Phoo ke Ratna.
“Waduh, gomen… sorry banget. Nggak bisa. Pinjem yang lainnya aja ya…” kata Ratna yang udah bersiap-siap masuk ke bus.
Di dalam bus nomor 1, ketujuh anak itu duduk dengan wajah tertekuk. Sepanjang perjalanan mereka nggak mengeluarkan suara sedikit pun kecuali suara kentut yang nggak tahu berasal dari siapa. Kali ini bukan mereka yang menyesal naik bus ini, tapi Prof. Snape, yang duduk di bangku barisan paling depan, yang sangat amat menyesal udah masuk ke bus yang tidak ada aura kasihnya ini, ternyata dia fansnya.

Enam hari setelah piknik,
Café Undian High School yang udah selesai direnovasi beberapa waktu lalu, kini mulai penuh sesak dengan berjejalannya berbagai makhluk yang bersekolah di sekolah ini, laki-laki, perempuan, jin, tuyul, demit dan masih banyak teman-temannya yang lain.
Di sudut biru ada Akanishi yang sedang makan bakso bersama dengan ketiga teman halusnya, Chibi, Nite, dan entahlah siapa satu makhluk yang sedari tadi cuma makanin sedotannya aja, pop-icenya nggak berkurang sedikit pun.
Sedangkan di sudut merah ada Kamenashi yang sedang minum kopi pahit kesukaannya. Katanya kopi pahit itu enak banget apalagi kalau ditambah dengan 3 sendok makan gula, tambah nikmat. Di sekitar Kamenashi sudah duduk manis Phoo, Oguri, dan sesosok manusia yang seharusnya sudah mereka kenal dari dulu (siapa coba, nanti ah kasih taunya…).
Di antara sudut biru dan sudut merah duduklah empat orang guru Undian High School, Prof. Umbridge, pak Asep, pak Hatake dan Prof. Misaki. Café ini punya peraturan four in one, jadi siapapun boleh duduk di café ini asal dalam satu meja ada tepat empat makhluk hidup, nggak boleh kurang nggak boleh lebih. Buat mereka yang mau duduk di sini tapi kurang jumlah anggotanya, di pintu masuk sudah ada joki-joki yang siap dibayarin makanan buat nemenin mereka. Kata kepala sekolah, itu salah satu cara mengentaskan kelaparan, daripada nungguin presiden yang gerak mending dia aja.
Sudah satu jam mereka duduk seperti itu, setiap kali mata Akanishi bertabrakan dengan mata Kamenashi muncul kilatan cahaya petir. Dan yang paling tersiksa dengan keadaan itu adalah para guru yang duduk di antara mereka. Kalau kilatan petir muncul, kilatan itu pasti mampir dulu ke meja mereka.
“Heh, dari tadi Kamenashi ngeliatin sini, kenapa sih?” tanya Lilin.
“Kesambet setannya Phoo.” Jawab Nite asal sambil diam-diam minum pop-icenya Lilin. Nite melihat Kamenashi menatap Akanishi. Saat dia melihat ke arah Akanishi, laki-laki itu juga tengah menatap Kamenashi, alhasil sebuah kilatan berwarna biru muncul dari kedua mata mereka. Sampai di tengah-tengah café, kilatan itu mampir di sate yang hampir masuk ke mulut pak Asep. Gara-gara kilatan itu, tusuk sate pak Asep patah, dan sate yang tinggal satu pun jatuh terkulai di ubin bergambar laba-laba dan kecoa. Sedangkan pak Asep masih dengan sangat cool pura-pura nggak ada yang terjadi dan memakan tusuk sate biar nggak ketauan kalau satenya jatuh. Dengan santai kaki kanannya menendang satenya yang jatuh ke arah luar tanpa tahu kalau di situ ada pelayan yang lewat sambil bawa nampan berisi dua mangkuk bakso. Gara-gara sate itu, si pelayan terpaksa tergelincir dan membuat nampannya yang berisi dua mangkuk bakso panas membuat gerakan melingkar beraturan dan jatuh bebas ke atas kepala Prof. Umbridge yang sedang membuka mulutnya lebar-lebar untung menelan satu tempe kemul utuh.
Dari sudut merah, Kamenashi beranjak datang setelah menghabiskan piring ketiganya, dia emang hobi makan piring.
“Akanishi, aku mau bicara sebentar!” kata Kamenashi.
“Kenapa?” jawab Akanishi.
“Sini!” Kamenashi menarik tangan Akanishi keluar café. Beberapa pasang mata yang ada di situ mengikuti ke arah mereka pergi.
“Mereka kenapa?” tanya Nite.
“Entahlah.” Jawab Lilin yang udah abis satu sedotan. Sementara Oguri cuma menggelengkan kepalanya.
Hampir setengah jam mereka keluar. Saat mereka kembali, tampak mata Kamenashi berbinar-binar.
“Ternyata…” kata Kamenashi saat melihat Nite. Kemudian di kembali ke tempat asalnya di sudut merah.
“Ada apa?” tanya Nite penasaran.
“Nggak, dia cuma tanya. Kenapa aku deket-deket terus sama kamu…” jawab Akanishi. Wajah Nite langsung bersemu merah.
“Dia cemburu?”
“Bukan. Dia nggak terima kalo dayangnya ilang satu.” Jawab Akanishi ringan. Sementara di sudut merah, Kamenashi masih tersenyum-senyum nggak jelas.


352.800 detik tepat setelah pemberian tugas laporan kegiatan di kebun kopi minggu lalu. Ketujuh anak yang diketuai Kamenashi sedang menyusun rencana untuk lolos dari hukuman karena nggak mengerjakan laporan. Lima menit lagi Prof. Misaki akan masuk ke kelas dan dia bukan tipe yang suka ngaret. Tujuh buah otak di dalam kepala ke tujuh anak itu sedang berputar, ber-rotasi, ber-revolusi, ber-evolusi. Sudah 5.880 menit mereka berusaha, berusaha tanya-tanya sama anak-anak yang lain, berusaha memaksa mereka memberi contekan, berusaha mengancam mereka, berusaha mencuri laporan mereka, berusaha menghipnotis para guru, bahkan sampai berusaha mencuci otak para guru, tapi semua itu tidak membuahkan hasil. Anak-anak yang lain tetap saja nggak mau ngasih pinjem dan para guru nggak mau pura-pura mereka udah ngumpulin tugas.
Walaupun mereka sedang saling menghipnotis satu sama lain supaya mereka berubah menjadi Albert Einstein, tapi percuma, ilmu hipnotis mereka belum sempurna dan mereka cuma ketularan gilanya tok, bukan ketularan jeniusnya.
“Sudahlah, aku nyerah!” kata Phoo. “Lama-lama kita bisa gila kalo kayak gini terus.”
“Aku juga nyerah!! Aku nggak mau jadi kayak dia!” kata Nite sambil nunjuk Lilin yang udah mbatang di pojokan. Matanya melek, tapi tatapannya kosong. Mulutnya kebuka sedikit, dan dari dalam keluar tetesan-tetesan air liur yang mengalir pelan melintasi sedotan yang masih setia nangkring di bibirnya. Jarang-jarang Lilin nggak napsu buat ngabisin sedotan, sedotan itu udah nangkring di situ lebih dari 2 jam dan wow masih utuh.
“Aku juga nyerah!” kata Aan semangat. “Emang kita lagi maen tebak-tebakan apa seh?” tanya Aan. Kelima makhluk yang lainnya kecuali Lilin menatap Aan sekilas dan menghela napas sekilas juga.
“Gimana ya…” desah Akanishi. Oguri yang berada di sebelahnya langsung tutup idung dan bergerak menjauh.
“Udahlah. Kita terima aja hukumannya!” kata Kamenashi. Walaupun dengan semangat setengah-setengah anak-anak yang lain cuma bisa menganggukan kepala.

Teng.. teng.. teng…
Suara lonceng berbunyi. Dan bersamaan dengan suara itu, masuklah Prof. Misaki. Prof. Misaki memang seorang profesor yang selalu lulus dengan nilai cumlaude, tapi entah kenapa, di sekolah ini posisinya cuma sebagai guru serabutan alias ngegantiin guru lainnya yang nggak masuk atau berhalangan hadir atau emang lagi males ngajar kayak pak Hatake kali ini.
“Sebelum kita mulai pelajarannya, siapa yang belum mengumpulkan laporan?” tanya Prof. Misaki. Nggak ada satupun dari anak-anak yang mau mengacungkan tangan. “Ya sudah, kalau nggak ada berarti semua SUDAH mengumpulkan, to?” lanjut Prof. Misaki disertai senyum yang sangat manis semanis Chang-Min, hihi… Tapi di mata ketujuh anak yang belum mengumpulkan laporan, sosok Prof. Misaki terlihat seperti diselimuti aura iblis yang pekat.
“Ya ampun. Lampu depan kok mati idup mati idup kayak disko gitu sih?” tanya Aan.
“Nggak tau, tapi firasatku kok nggak enak ya…” jawab Lilin. Sementara Nite, Kamenashi, dan Phoo yang duduk di barisan paling depan mulai menyesali keputusannya duduk di barisan paling depan. Jangankan buat menggerakkan tubuh, buat berkedip aja mereka bertiga nggak mampu, bahkan jantung mereka juga nggak berani berdetak sebelum dikasih ijin sama otak mereka yang saat ini masih membeku. Sosok Prof. Misaki lama kelamaan semakin membesar di mata mereka, dan aura iblis di sekitarnya semakin menjadi-jadi saat Prof. Misaki mengembangkan senyumnya yang membuat matanya menyipit. Kali ini bukan lampu bagian depan saja yang disko, tapi seluruh lampu di kelas itu tiba-tiba berdisko ria. Kaca-kaca jendela bergemeretak, semakin lama semakin keras.
“Ada Poltergeis.” Kata Nia yang nggak bisa melihat sosok Prof. Misaki kayak ketujuh anak lainnya.
“Ya sudah. Kalau semua sudah mengumpulkan, kita masuk ke pela…” belum sampai titik, Prof. Misaki berkata. Ketujuh anak yang belum mengumpulkan itu langsung berdiri dan mengacungkan tangan mereka. Seketika itu juga lampu-lampu menyala normal dan jendela-jendela berhenti bergemeretak.
“Weleh… Udah selesai?!” kata Nia yang sebenarnya sudah pasang ancang-ancang buat melarikan diri. Sementara Siti yang matanya udah berbinar-binar alias excited banget tiba-tiba menjadi kecewa berat dan boneka jelangkung yang tadi udah dicolong dari tasnya Lilin jadi mubazir.
Sekali lagi Prof. Misaki tersenyum, tapi kali ini bukan aura iblis yang dilihat oleh ketujuh anak tersebut, melainkan aura kasih yang lagi konser di sekitar Prof. Misaki.
“Pulang sekolah nanti…” lagi-lagi, Prof. Misaki tidak dapat menyelesaikan kalimatnya sampai titik, ketujuh anak itu sudah ngacir ke luar kelas sambil berkata
“Kami langsung menghadap pak Asep, sekarang!!!” dan wuzzz… Mereka pun menghilang dari balik pintu sementara Prof. Misaki yang masih tetap bertahan dengan raut wajah tersenyum dan mulutnya yang membentuk huruf vokal ‘I’ tidak tahu harus mengambil sikap apa.

Setelah mereka bertujuh menghadap pak Asep, mereka pun diberi tugas membersihkan perpustakaan dan mengatur buku-buku di perpustakaan. Meskipun mereka ada tujuh orang tapi karena perpustakaan di sekolah ini nggak kira-kira gedenya, dan koleksi bukunya pun nggak kira-kira lengkapnya, mereka pun belum dapat menyelesaikannya. Konon katanya, semua buku yang pernah diterbitkan oleh penerbit legal maupun illegal, ada semua di sini, jadi anak-anak nggak bisa punya alasan kekurangan literatur kalau disuruh bikin tugas. Mau buku apa aja mereka pasti bisa ngedapetinnya di sini. Mau buku geografi, buku psikologi, hukum, hukum karma, hukum rimba, buku masak, buku mantra sampe kutu buku juga jadi koleksi di perpustakaan ini.
Matahari sudah lama mengucapkan wasallam pada dunia belah timur ini, tapi mereka bertujuh belum selesai juga.
“Lho, kalian masih ada di sini?” tanya pak Hatake yang kebetulan sedang menyembunyikan buku favoritnya, Icha-Icha Paradise.
“Ya ampun, pak. Ini perpustakaan luas banget. Gimana caranya selesai hari ini?!” kata Aan.
“Emang kalian disuruh apa?”
“Kita disuruh ngeberesin perpustakaan ini plus ngatur ulang buku-bukunya.” Jawab Nite.
“Memang siapa yang nyuruh? Kenapa?”
“Pak Asep. Gara-gara kita nggak bikin laporan.” Kamenashi Lilin.
“Laporan apa?”
“Laporan piknik minggu lalu. Yang ke kebun kopi itu loh.” Jawab Aan.
“Lho?! Bukannya yang belum buat disuruh buat tadi waktu pulang sekolah?” Kata pak Hatake sambil menutup buku Icha-Icha Paradise-nya dengan buku-buku masakan buat kamuflase.
“Hah?? Nggak kok. Kita nggak disuruh buat waktu pulang sekolah.” Jawab Phoo. Pikiran mereka bertujuh melayang ke saat Prof. Misaki nyuruh… nyuruh apa ya… Mereka pun sadar, waktu itu Prof. Misaki belum bilang apa-apa mereka sudah keburu keluar duluan.
“Prof. Misaki belum sempet ngomong…” kata Kamenashi dengan wajah lemas.
“Makanya, kalau orang ngomong itu dengerin sampai selesai. Tadi yang belum buat ada sekitar 15 orang kalau nggak salah. Dan cuma disuruh bikin laporan tentang pengalaman kalian aja kok…” pak Hatake yang sudah selesai menyusun kamuflase untuk buku-bukunya cuma bisa menghembuskan napas, hhhh…
“Tunggu sebentar, kalau yang belum ngerjain, disuruh ngerjain waktu pulang sekolah, kenapa kita disuruh bersih-bersih disini?” kata Nite.
“Karena kalian yang tiba-tiba datang dan bilang minta dihukum apa aja tanpa bilang kenapa kalian minta dihukum. Lumayan kan, kebetulan petugas perpustakaannya baru cuti bulanan.” Tiba-tiba dari belakang mereka pak Asep muncul dengan sudah mengenakan baju bebas. Dengan santai tangannya mengambili buku-buku masakan yang dibuat kamuflase sama pak Hatake. Kemudian buku-buku Icha-Icha Paradise yang tadinya tersusun rapi di belakang buku-buku masakan kini pindah ke tangan pak Asep semua.
“Ini, jangan ditaruh disini, nggak baik buat anak-anak. Saya pindah ke kantor saya saja.” Setelah selesai mengusungi Icha-Icha Paradise, pak Asep pun berlalu meninggalkan mereka. “Jangan lupa itu dirapikan lagi!!” katanya sambil menunjuk buku-buku masakan yang tadi dibongkarnya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar