Maret 01, 2009

Hima.021A Piknik Sehari (1)

Pagi yang cerah untuk jiwa yang sepi *by, PTP*. Hari ini ada piknik sehari. Kali ini anak-anak kelas 3 pergi outbond ke Sidomukti, langsung lanjut ke perkebunan kopi, mereka nggak naik taksi, juga nggak jalan kaki. Semua anak merasa sangat senang kecuali anak-anak kelas 3D. mereka bangunnya kudu dibangunin sama suara bel sekolah dulu, selain bel sekolah nggak akan mempan, ini juga alasan kenapa mereka dibenci sama ayam-ayam jantan selain mereka yang suka ngegodain ayam-ayam betina. Kalau bel masuk sudah bunyi tapi mereka nggak bangun-bangun juga, peri mimpi kudu sabar nemenin mereka lebih lama lagi sampe bel pergantian pelajaran.

Madam Ivan selaku wali kelas mereka berbaik hati mau mengusung-ngusung bel sekolah yang gedenya nggak kalah gede sama badannya ke asrama timur tempat anak-anak kelas 3D melepaskan jiwa dan raganya.
Pagi itu, tepat pukul 4.00 waktu asrama timur, madam Ivan sudah stand by di depan pintu masuk asrama timur. Gara-gara manggul bel dari sekolah sampe asrama yang jaraknya beda-beda dikit ma jarak Jakarta-Bandung, cuma beda beberapa puluh kilo, madam Ivan sampe keringetan di bagian keti.
Kloneng… Kloneng… Kloneng…
Suara bel sekolah yang nggak kalah pelan sama klonengan tukang es dibunyikan madam Ivan di depan sebuah mike yang nyambung langsung sama ampli+speaker stereo 65.000W PMPO. Bukan cuma anak-anak 3D, seluruh penghuni asrama timur, termasuk jin dan demit terbangun, dikiranya ada gempa. Begitu satu per satu dari mereka keluar buat cari tahu, mereka manggut-manggut setelah tahu penyebab gempa itu ternyata madam Ivan…
“Heh, tadi itu suara bel sekolah!! Bukan suara langkah kaki saya!!!” protes madam Ivan melihat reaksi anak-anak asrama timur setelah melihat dia. Tapi di antara semua anak yang keluar, tidak ada satu pun anak-anak kelas 3D. Madam Ivan pun meluncur ke kamar anak perempuan terlebih dahulu. Begitu pintu kamar dibuka dengan paksa, nggak terlalu maksa seh sebenernya… “Heh!! Memang saya raksasa?!!” protes madam Ivan lagi, dilihatnya keempat makhluk imut sedang melungker di bawah selimut tebal dengan sumpelan kapas di kuping mereka. Kali ini madam Ivan pergi ke kamar mandi untuk mengambil air seember.
Sekali lagi dibuka pintu kamar asrama yang sebenernya udah jebol gara-gara tadi dijebol dengan nggak maksa sama madam Ivan. Madam Ivan yang sudah siap-siap dengan air di tangan kanannya, mulai mengguyurkan air itu ke arah keempat murid tercintanya itu.
Byurrr… Byurr… Byurr…
Eh, kurang satu.
Byurr…
Keempat makhluk itupun kini menjadi basah kuyup. Madam Ivan yang sudah berhasil membangunkan mereka berempat kemudian lari dengan senang kayak anak kecil ke arah kamar cowok.
Tinggallah keempat orang kebanjiran di dalam kamar.
“Tadi apaan sih??” tanya Nite.
“Nggak tahu.” Jawab Phoo.
“Kita lagi ngimpi apa sih?” tanya Lilin.
“Mimpi basah.” Jawab Aan.
Setelah 10 menit mereka mencoba mengingat-ingat kembali apa yang sebenarnya terjadi, akhirnya mereka nyerah juga dan nggak mau tahu lagi.
“Udah jam berapa nih??” tanya Aan.
“Jam… EMPAT????” teriak Lilin nggak percaya. “Waduh, rotasi bumi dah mulai kacau nih. Tidur lagi… Tidur lagi…” Lilin pun masuk ke bawah selimutnya dengan basah kuyup. Belum sempat dia menutup mata *eh, ada acha*, ketiga anak yang lainnya langsung menggotong dia ke kamar mandi.
“Apaan sih?? Aku mau tidur lagi.” Kata Lilin.
“Nggak boleh!! Kalo kamu tidur basah-basahan kayak gitu, nanti kamu sakit lagi, nanti kita lagi yang repot.” Kata Nite. Sesampainya di kamar mandi, Lilin langsung dimasukkan ke dalam bak mandi. “Cepetan mandi nggak pake lama!!” Lilin yang udah terlanjur tenggelam di dalam bak mandi cuma bisa pasrah nurutin tuntutan ekonomi, eh tuntutan temen-temennya…

Tepat jam 6 kurang, anak-anak kelas 3 sudah berkumpul di halaman depan. Mereka berbaris berdasarkan kelas mereka, dan para guru pun heran karena jarang-jarang anak-anak kelas 3D tidak terlambat. Sementara madam Ivan sang wali kelas tampak pucat dan ngos-ngosan di ujung barisan paling ujung.
Tadi waktu dia membangunkan anak-anak cowok, dia disambut dengan berbagai macam jebakan, yang sebenernya buat antisipasi kalo-kalo Nite dan Phoo nyelinap masuk. Niat dia mendobrak pintu kamar diurungkannya begitu dia tahu kalau pintu itu nggak dikunci. Dibukanya pintu itu lebar-lebar, belum sempat dia melihat ketiga makhluk di dalamnya, air seember di atas pintu langsung mengguyur badannya yang gempal dan ember itu pun mulus jatuh di atas kepalanya. Pluk…
Badannya yang basah kuyup mulai memasuki kamar itu, langkah pertama dijalankan oleh kaki kanan. Ctik… “Bunyi apa itu?!” tanya madam Ivan keheranan. Belum sempat mendapatkan jawaban, belasan penghapus papan tulis full kapur membombardir wajahnya. Bukkk… bukkk… bukkk… Jadilah madam Ivan siap goreng tepung.
Kemarahan madam Ivan memuncak saat dilihatnya banyak kelereng di depan jalannya. “Hmmm… pengen aku jatuh?! Jebakan murahan!” madam Ivan pun berjalan memutar tidak mau menginjak kelereng-kelereng itu. Tapi di pinggiran, tempat dia berjalan kali ini sudah dituangi minyak goreng nomor 2 sebaskom. Dan kakinya pun berhasil nyelip. Dengan gaya slow motion, badannya yang segede container berhasil ngegeledak. Dbumm… Dan anak-anak asrama timur pun sekali lagi mengira ada gempa.
Sakit di punggung dan kepala madam Ivan terlupakan ketika dia mendengar suara cklik dari benda bulat dengan tombol kecil di atasnya yang dia timpa saat itu. Bentuknya familiar buat dia, kayak yang di tipi-tipi waktu ada film perang. “Apa lagi ini…” keluh madam Ivan yang udah mulai kecapekan. Duarrr… Suara ledakan kecil terdengar dibarengi dengan cipratan-cipratan madu yang mengenai sekujur tubuhnya.
Lengket, pikir madam Ivan. Ng…ng…ng… Dari arah belakang muncul segerombolan lebah yang sudah siap menyerang madam Ivan. Madam Ivan yang melihatnya langsung lari terbirit-birit sambil teriak, aaaaarrrrrrggghhhhhhhh… Di sepanjang perjalanannya dia bertemu dengan Kamenashi, Akanishi, dan Oguri yang tampaknya baru saja mandi. Melihat ketiga makhluk itu, madam Ivan menjerit semakin keras. AAAAAAAAARRRRRRRRRRRGGGGGGGGGGHHHHHHHHHHH…………….

Balik lagi ke halaman depan.
“Anak-anak kelas tiga tahun ini sangat tertarik dengan piknik ya…” kata pak Asep yang sudah siap-siap pidato. Pak Hatake yang berdiri di sampingnya, melihat anak-anak kelas 3 yang dimaksud oleh pak Asep. Dari kelas 3A sampai kelas 3D, wajah mereka berseri-seri. Tampak sekali kalau mereka sudah bangun untuk persiapan dari sejak subuh tadi. Dilihatnya bawaan mereka, terbilang tidak banyak, mereka hanya membawa dua buah tas ransel gede-gede dan satu tas jinjing.
“Memang kita menginap?” tanya pak Hatake ke pak Asep.
“Nggak…” jawab pak Asep ringan.
“Kok mereka bawa tas besar-besar?”
“Sudahlah biarkan saja. Namanya juga anak muda.” Jawab pak Asep yang sudah menarik napas untuk memulai pidato. Pidato pun dimulai sampai 2 jam kemudian baru selesai. Bukannya bosan, anak-anak malah merasa tambah semangat.
Tepat jam 8 kurang, bus yang akan mengantar mereka tiba. Anak-anak memilih bus berdasarkan feeling. Tapi karena feeling anak-anak kelas 3D hari ini sedang buruk, maka mereka pun naik ke bus yang salah. Mereka naik ke bus yang dijaga oleh anjing Doberman, eh maksudnya Prof. Snape. Bus kecil itu diisi oleh 28 orang dari berbagai macam kelas, ada kelas 3A, kelas 3B, kelas 3C, dan juga kelas 3D, intinya semua kelas ada perwakilannya di situ.
Di sini senang, di sana senang, dimana-mana hatiku senang…
Suara nyanyian dari kedua bus di depan menggema di bus terakhir. Di bus ini jangankan suara nyanyian, suara napas dan detak jantung aja diatur sepelan mungkin, karena Prof. Snape sedang tidur di bangku barisan depan.
Satu jam telah berlalu. Anak-anak dari bus 1 sampai 2 keluar dengan semangat dan penuh gembira. Sedangkan anak-anak dari bus ketiga, keluar dengan wajah pucat dan keringat dingin di sekujur tubuh.
“Ayo baris anak-anak!!” kata madam Ivan ke anak-anak kelas 3D. “Kalian itu kenapa sih? Kok kayak yang abis keluar dari neraka aja.” Lanjut madam Ivan sambil mengelus-elus Ruben, kucing kesayangannya yang masih kudisan itu.
“Emang keluar dari neraka…” kata Lilin.
“Lebih…” lanjut Phoo.
“Ratusan…” lanjut Aan.
“Yak. Karena busnya cuma bisa sampai disini saja. Jadi mulai dari sini kalian harus berjalan…” kata madam Ivan.
“What??” kata Akanishi yang emang udah fasih bahasa Inggris, maklum dia emang abis pulang dari sana. Katanya sih, dia disana sekolah kejuruan, jurusan bahasa Indonesia. Mata anak-anak menerawang jauh di jalan yang ditunjukkan oleh madam Ivan. Jalan itu membujur jauh tanpa terlihat akhirnya.
“Nggak masalah…” kata Oguri.
“Yoi. Cuma segini ini.” Lanjut Nite. Para guru dan anak-anak yang lain keheranan melihat semangat mereka yang berubah menjadi gumulan api merah menyala di atas kepala mereka. Dari pada musti naik bus yang isinya Prof. Snape, pikir Kamenashi dan kawan-kawan.

Naik-naik ke puncak gunung… tinggi… tinggi sekali…
Semangat Kamenashi dan teman-temannya belum memudar meskipun mereka sudah jalan kurang lebih setengah jam.
Naik-naik ke puncak gunung… tinggi… tinggi sekali…
Akhirnya, setelah perjalanan yang melelahkan selama 2jam nggak penuh. Mereka sampai juga ke puncak tertinggi, karena tujuan mereka kali ini memang menuju puncak.
“Wuahhh…” teriak anak-anak yang sudah sampai melihat ada kolam berendam yang terbuat dari batu-batuan alam. Mereka pun langsung berlarian kesana kemari tanpa tujuan…
“Anak-anak… Anak-anak…” kata madam Ivan memanggil anak-anak yang sudah menyebar ke kiri dan ke kanan. Memang kayaknya percuma saja madam Ivan memanggil mereka, toh dia tidak dipedulikan. Karena jengkel, akhirnya madam Ivan memutuskan untuk loncat di tempat. DBUMM… bumi gonjang-ganjing… Anak-anak Undian HS pun langsung paham kalau madam Ivan emang lagi butuh perhatian, maklum belakangan ini dia memang kurang diperhatikan.
“Anak-anak… kalian boleh maen sepuasnya disini mau berenang boleh, mau maen flying fox juga boleh, mau loncat ke jurang jangan, nanti kita yang repot nguburnya…” kata madam Ivan. Anak-anak pun mulai menyebar lagi. Ada yang maen flying fox, ada yang berenang, ada juga yang lagi nulis surat wasiat kalo-kalo dia mati setelah naik flying fox…
“Trus, kita ngapain nih??” tanya Akanishi.
“Nggak tahu.” Jawab Nite yang takut ketinggian, jadi nggak mungkin maen flying fox. Mau berenang juga nggak mungkin, nanti ketahuan punggungnya lagi panuan.
“Makan aja yuk…” kata Akanishi.
“Nyok.” Jawab Nite sambil jalan di belakang Akanishi.
Melihat Akanishi dan Nite berduaan di kantin, Kamenashi dari kejauhan menatap dalam-dalam…

* * *


Tidak ada komentar:

Posting Komentar